Jumat, 13 April 2012

YOGYAKARTA JALAN TERUS


Sikap pemerintah yang menarik ulur permasalahan RUU Keistimewaan Yogyakarta membuat sebagian masyarakat Yogyakarta 26 maret 2012 silam melakukan apel siaga rakyat Yogyakarta propenetapan. Aksi yang diikuti oleh 500 masyarakat DIY ini menyatakan prihatin dengan nasib RUU Keistimewaan yang sampai detik ini belum selesai dibahas di DPR. Bahkan masyarakat dalam aksinya membentangkan spanduk yang bertuliskan 'Apel Siaga Rakyat Yogyakarta, Kami Siap Berpisah, Rakyat Sepakat SBY Turun'. Sungguh ironi.
Wacana RUU Keistimewaan timbul diawali niat presiden SBY yang ingin membuat sebuah pemerintahan yang sama dengan pemerintah pusat dengan jalan gubernur yang dipilih. Bukan dengan penetapan. Alih alih sebagai perwujudan demokrasi yang sesungguhnya SBY dan beberapa anggota dewan yang propemilihan mencanangkan RUU Keistimewaan Yogyakarta. Seakan lupa dengan fakta sejarah, SBY beserta jajarannya sempat menggegerkan masyarakat Yogyakarta. Banyaknya pro kontra yang terjadi di Yogyakarta akhirnya membuat RUU Keistimewaan ini pun mandek ditengah jalan.
Pemerintah seakan gamang dengan berbagai keputusan yang akan diambilnya. Dengan melihat track record pemerintah beberapa waktu belakangan ini, seakan wacana RUU Keistimewaan ini hanya dijadikan pengalihan isu dari isu isu krusial yang dihadapi pemerintahan. Segala bentuk dan partisipasi anggota dewan dalam menggodok RUU tersebut pun seperti hangat hangat tai ayam yang hanya booming di awal tapi buntu dibelakang.
Sepertinya pemerintah tidak ingin kehilangan muka ataupun menambah daftar panjang borok pemerintahan pusat, alih alih menegakan demokrasi, dan menjalankan fungsi dari rakyat untuk rakyat dan oleh rakyat. Padahal, fakta sejarah sudah membuktikan bahwa Yogyakarta adalah cikal bakal lahirnya NKRI. Dan merupakan ruh dari Indonesia. Selain itu, ini alas an yang membuat penulis yakin bahwa RUU Keistimewaan hanya sebuah pengalihan isu adalah pemerintah pusat dalam membuat sebuah wacana tanpa melihat fakta social. Apabila ingin benar benar mewujudkan demokrasi dan kedaulatan rakyat. Seharusnya pemerintah sudah membaca kultur masyarakat Yogyakarta,yang pada hakekatnya menginginkan Sri Sultan Hamengkubuwono menjadi pemimpin masyarakat Yogyakarta. Dengan membaca hal tersebut pemerintah pusat tidak harus memaksakan kebijakan yang pada akhirnya malah tidak berpihak kepada rakyat.
Masyarakat Yogyakarta saat ini haruslah mampu sadar social dan membuka mata melihat fakta yang terjadi dipanggung drama pemerintahan pusat saat ini. Begitu banyak kasus dan isu yang bergulir silih berganti namun,tidak berujung pada penyelesaian yang memuaskan. Hakekatnya ini isu yang bersilih berganti ini hanya untuk menutupi kebobrokan yang sudah terlanjur terbuka ke public.
Penulis rasa masyarakat tak perlu galau dalam menyikapi bentuk pemerintahan atau kedaulatan Yogyakarta. Karena, hak penuh berada ditangan rakyat. Dan keputusan pemerintah haruslah pro rakyat. Apabila rakyat merasa bahwa Sri Sultan Hamengkubuwono lah yang mampu dan credible dalam memimpin Yogyakarta. Mengapa harus ragu dan risau untuk mengatakan “Penetepan Yes, Pemilihan No.”[]

0 komentar:

Posting Komentar