Sikap pemerintah yang menarik ulur
permasalahan RUU Keistimewaan Yogyakarta membuat sebagian masyarakat Yogyakarta
26 maret 2012 silam melakukan apel siaga rakyat Yogyakarta propenetapan. Aksi
yang diikuti oleh 500 masyarakat DIY ini menyatakan prihatin dengan nasib RUU
Keistimewaan yang sampai detik ini belum selesai dibahas di DPR. Bahkan
masyarakat dalam aksinya membentangkan spanduk yang bertuliskan 'Apel Siaga Rakyat Yogyakarta, Kami Siap Berpisah, Rakyat
Sepakat SBY Turun'. Sungguh ironi.
Wacana RUU Keistimewaan timbul diawali niat
presiden SBY yang ingin membuat sebuah pemerintahan yang sama dengan pemerintah
pusat dengan jalan gubernur yang dipilih. Bukan dengan penetapan. Alih alih
sebagai perwujudan demokrasi yang sesungguhnya SBY dan beberapa anggota dewan
yang propemilihan mencanangkan RUU Keistimewaan Yogyakarta. Seakan lupa dengan
fakta sejarah, SBY beserta jajarannya sempat menggegerkan masyarakat
Yogyakarta. Banyaknya pro kontra yang terjadi di Yogyakarta akhirnya membuat
RUU Keistimewaan ini pun mandek ditengah jalan.
Pemerintah seakan gamang dengan berbagai
keputusan yang akan diambilnya. Dengan melihat track record pemerintah beberapa
waktu belakangan ini, seakan wacana RUU Keistimewaan ini hanya dijadikan
pengalihan isu dari isu isu krusial yang dihadapi pemerintahan. Segala bentuk
dan partisipasi anggota dewan dalam menggodok RUU tersebut pun seperti hangat
hangat tai ayam yang hanya booming di awal tapi buntu dibelakang.
Sepertinya pemerintah tidak ingin kehilangan
muka ataupun menambah daftar panjang borok pemerintahan pusat, alih alih
menegakan demokrasi, dan menjalankan fungsi dari rakyat untuk rakyat dan oleh
rakyat. Padahal, fakta sejarah sudah membuktikan bahwa Yogyakarta adalah cikal
bakal lahirnya NKRI. Dan merupakan ruh dari Indonesia. Selain itu, ini alas an
yang membuat penulis yakin bahwa RUU Keistimewaan hanya sebuah pengalihan isu
adalah pemerintah pusat dalam membuat sebuah wacana tanpa melihat fakta social.
Apabila ingin benar benar mewujudkan demokrasi dan kedaulatan rakyat.
Seharusnya pemerintah sudah membaca kultur masyarakat Yogyakarta,yang pada
hakekatnya menginginkan Sri Sultan Hamengkubuwono menjadi pemimpin masyarakat
Yogyakarta. Dengan membaca hal tersebut pemerintah pusat tidak harus memaksakan
kebijakan yang pada akhirnya malah tidak berpihak kepada rakyat.
Masyarakat Yogyakarta saat ini haruslah mampu
sadar social dan membuka mata melihat fakta yang terjadi dipanggung drama
pemerintahan pusat saat ini. Begitu banyak kasus dan isu yang bergulir silih
berganti namun,tidak berujung pada penyelesaian yang memuaskan. Hakekatnya ini
isu yang bersilih berganti ini hanya untuk menutupi kebobrokan yang sudah
terlanjur terbuka ke public.
Penulis rasa masyarakat tak perlu galau dalam
menyikapi bentuk pemerintahan atau kedaulatan Yogyakarta. Karena, hak penuh
berada ditangan rakyat. Dan keputusan pemerintah haruslah pro rakyat. Apabila
rakyat merasa bahwa Sri Sultan Hamengkubuwono lah yang mampu dan credible dalam
memimpin Yogyakarta. Mengapa harus ragu dan risau untuk mengatakan “Penetepan
Yes, Pemilihan No.”[]
0 komentar:
Posting Komentar