Kamis, 20 Desember 2012

Saya ingin menjadi seoarang Budha yang Sholeha..

Andai saja.. saya bisa menjadi seorang yang memiliki pola pikir seperti Budha. tapi kali ini ditambah sebagai Budha yang sholeha.. :)

Dipertangahan malam, entah kesambet apa di pertangahan jalan pulang tadi. Saya jadi berfikir banyak tentang nilai sebuah kebenaran..

Seringkali kebenaran yang fungsional lebih bisa dijabarkan daripada kebenaran secara eksplisit. Walaupun, kata bill kovack, tidak ada kebenaran yang absolute didunia ini. Kebenaran, itu berbicara tentang tata nilai yang sesungguhnya dihasilkan dari pergesekan budaya di dalam masyarakat sendiri. Kebenaran memang tak selalu menjadi tolak ukur -menurut saya- karena, seringkali norma norma yang terbentuk dalam sebuah tatanan masyarakat tak bisa bernilai universal.

Nah, sayangnya, pembelajaran tentang Kebenaran tak sampai pada akar. Tak sampai pada hati dan kepala masing masing manusia. Kebenaran menjadi begitu absurd ketika tata nilai sebuah kelompok dijadikan acuan untuk pembenaran. Padahal, "kebenaran" yang dimiliki suatu kelompok belum tentu bisa diterima kelompok lain.

Kalau ada yang menyatakan bahwa Kebenaran mutlak memang menjadi legitimasi tuhan. Uhm.. saya tidak begitu sepakat. Karena, hakikatnya kebenaran mutlak semestinya memiliki fakta empiris. Dan penyimpulan serta persepsi tergantung setiap individu menyikapi.

Lalu, manusia yang mana yang mampu menemukan fakta empiris eksistensi tuhan? Fakta empiris loh?? Ya, memang agak susah kalo ngomong hal ini secara rasional. Mencoba rasional jangan jangan malah sudah di justifikasi sepihak. Nah, ini salah satu kebenaran yang muncul akibat tatanan budaya. Lalu, selanjutnya, manusia mana yang sesombong itu mampu menyimpulkan hakekat kehendak tuhan. Memang dia pikir dia tuhan? hahahaha..
Berbicara tentang Tuhan. Ya, kita berbicara tentang Hati. Mereka yang masih menyakiti manusia lain dan mengaku berTuhan. Sama saja seperti lembu.

Yang ingin saya paparkan dan curahkan kemudian adalah..

Kebenaran bukan lah hal yang mutlak dalam sebuah proses sosial.

Yang paling benar adalah harga moral. Moral disini bukan hanya tentang tatanan agama. bukan hanya soal dosa pahala, surga dan neraka. Moral sekali lagi tidak serendah itu untuk digadaikan. Moral adalah pencapaian tertinggi seorang manusia. Sekarang ini siapa sih manusia yang masih mempunyai moral? ketika semua bisa tergadaikan demi uang?

Mengutip petuah Budha, bahwa keselarasan adalah nirwana sesungguhnya. Dari sini kita bisa menarik kesimpulan. Bahwa, keselarasan, moral, dan juga berbicara tentang hati adalah berbicara tentang penataan persepsi, cara pandang, juga penilaian kita terhadap sebuah masalah. Nirwana itu tidak jauh jauh sampai langit ke tujuh. Nirwana juga tak begitu jauh sampai harus bertengkar kapan hari kiamat datang.

Nirwana hakikatnya adalah hati. 

Manusia harus segera terbangun dari belenggu dirinya sendiri. Harus mampu menyelaraskan antara yang nyata dan tersimpan.

Kalau kata mbah Marx, manusia baru dikatakan manusia ketika ia melaksanakan kerja. Tapi, menurut saya, manusia adalah makhluk yang mampu menyelaraskan apa yang didepan mata, dengan apa yang dikatakan hati.

"Hidup ini adalah memaknai alam dan melaksanakan kata kata" papar seorang kawan di garis perjuangan. 

Senin, 17 Desember 2012

Seberkas Tentang Jakarta

Setiap melodi yang dirangkai di lagu forget jakarta nya ~ adhitia sofyan. Selalu berhasil membuat gue tertarik lagi ke masa lalu. Masa dimana gue tumbuh dan besar disana. Kota dengan beribu keramaian dan hingar bingar, kota yang... tak pernah sepi dengan tawa juga air mata.

Setelah sekian lama mengasingkan diri di kota kecil bernama yogyakarta. Mungkin sudah saatnya kaki ini siap melangkah "pulang". Ya, kenapa gue sebut pulang. Biarpun keluarga besar nyokap bokap di jogja semua. Tapi, gue selalu bertekad dalam hati untuk selalu pulang. Pulang ke jakarta.

Mungkin bagi sebagian orang, ke jakarta adalah pilihan yang sangat pelik. -sebagian orang- merasa harus bertaruh hidup di sana. Tapi, gue beda. Mungkin karena, ditanah yang katanya orang penuh dengan intrik tempat gue lahir. Entah ada relevansinya atau enggak. Tapi, rasa "gue harus pulang, gue harus balik ke jakarta" terus menghantui gue.

Beberapa waktu lalu, ada salah seorang sahabat gue bertanya,

"Kapan pulang jakarta tan?, elo gak kangen sama sekolah? gak kangen sama rumah?" paparnya diujung telfon.

"Gue pasti balik, tapi mungkin enggak sekarang." jawab gue singkat. Sayangnya, kalimat terakhir tak kuasa terucap di perbincangan gue dengan sahabat lama gue. "Karena luka dan trauma itu masih menghantui" gumam gue dalam hati.

Overall, ada banyak alasan yang tak terungkap yang menyebabkan gue harus menepi di kota kecil ini. Ada beberapa case, yang harus gue pilih. sehingga beberapa waktu belakang.. gue belum berani untuk pulang.

Tapi gue rasa, penepian gue sudah harus berakhir. Sudah terlalu lama.. sudah terlalu lama..

Kaki gue harus kembali pada tanah itu. Bukan untuk menaklukan. Tapi untuk "kembali". Kembali.