Jumat, 13 April 2012

HARUSNYA KITA BIJAK MENYIKAPI FENOMENA ALAY


Seringkali kita terjebak dalam streotipe general tanpa kita tahu maksud dari paradigm tersebut. Alay. Predikat yang sering melekat disebagian orang yang menurut para ‘anti alay’ adalah orang yang norak, kampungan, dan tidak up to date. Kita pun sering tanpa sadar mencap seseorang alay tanpa tahu batasan alay, tanpa tahu apa makna mendasar dari alay.
Alay adalah kepanjangan dari anak layangan. Penulis pun tidak mampu menemukan kapan dan siapa yang mencetuskan kalimat ini. Alay yang booming ditahun 2000an semakin kesini semakin mendeskriditkan golongan. Predikat alay sering sekali di sematkan pada golongan menengah kebawah. Padahal, menurut penulis alay adalah suatu fase. Alay yang sering kali saat ini malah dijadikan bahan olokan pada dasarnya pernah dilakukan oleh setiap orang.
Seringkali Alay diberikan ciri cirri sebagai berikut: 1. Huruf ketikan sms besar kecil dan dipadukan dengan angka. 2. Apabila mengetik sms ada unsure hiperbola alphabet disana. Contoh: cemunguuudh kakaks (Semangat kakak), kMu Lgy d5na? (kamu lagi dimana?) dsb. 3. Tabrak warna seringkali juga dijadikan trend di kalangan alay. 4. Alay juga seringkali dihubungkan dengan prilaku yang hiperaktif.
Dari mana alay berasal? Penulis mencoba flashback kebelakang. Bukan bermaksud untuk menjudge salah satu provider. Namun, jelas masih di ingat dibenak kawan kawan pastinya. Bahwa salah satu provider handphone pada saat itu mempopulerkan gaya sms gede kecil dengan paduan angka dan huruf, seolah membuat trend baru di dunia remaja sembari menawarkan salah satu produk paket smsnya. Sontak, hal itu langsung membumi ditengah para remaja.
Kemudian, yang paling massif dan dapat dijadikan bukti nyata adalah perkembangan jejaring sosial di Indonesia. Masih teringat dengan eksistensi Friendster, pada masanya. Friendster adalah trobosan jejaring sosial pertama yang langsung mencapai rating tertinggi dalam jangka waktu beberapa tahun di Indonesia, lalu, muncullah facebook sebagai dinamika baru. Dan friendster lambat laun di tinggalkan. Hingga para remaja yang masih berkutat difriensdter dibilang alay, gak gaul, dsb. Setelah Twitter hadir. Para pemakai facebook pun yang berimigrasi ke twitter menganggap bahwa facebook menjadi wadahnya orang-orang lain.
Kita tidak bisa mendeskreditkan alay sebagai sebuah virus yang harus dijauhi. Sekali lagi, karena semua orang pasti pernah alay. Dan itu wajar. Sekali lagi pula, karena hal itu adalah sebuah proses menuju kedewasaan. Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang menjadi alay. Atau pernah alay. Pertama, proses pendewasaan. Alay lekat sekali dengan para remaja. Karena, remaja pada dasarnya sedang mencari jati diri, menunjukan eksistensinya bahwa ia ada. Maka, ia berprilaku yang sering kali dicap alay. Contoh prilakunya dengan nama pengguna di facebook, atau gaya sms antar sebayanya. Tidak ada yang salah dengan hal ini. Ini adalah sebuah fase yang mungkin dan bisa saja dilalui oleh orang lain.
Kedua,faktor lingkungan dan ekonomi sosial. Pada salah satu stasiun tv yang menayangkan acara musik setiap pagi, bisa kita lihat bersama ada beberapa penonton yang bergaya dengan gaya yang sama setiap harinya. Dan kelompok ini biasanya yang disebut alay. Terlalu cepat kita menyematkan predikat alay terhadap orang. Apabila kita bisa berfikir lebih jauh lagi, apa yang salah dengan peran itu, dibalik itu semua, dibalik gaya dan jogetnnya ditelevisi yang sering kita anggap alay. Mereka melakukan seperti itu karena mendapat bayaran, untuk menyambung hidupnya. Toh,buktinya acara itu juga tetap bertahan sampai sekarang itu membuktikan bahwa acara itu juga diminati oleh masyarakat. Sayangnya kaum ‘non-alay’ atau biasanya mereka yang berada di kelas menengah keatas tidak melihat alay dari segi yang ini. Mereka mengaggap bahwa alay adalah salah stau kelas yang tidak bisa melebur bersama, dan hanya dimiliki oleh kalangan menengah kebawah.
Ketiga,faktor media massa, seperti yang sudah penulis uraikan diatas. Bahwa media massa sangat berpengaruh dalam pergesaran budaya apalagi ditengah kultur masyarakat indonesia yang konsumerisme dan bermental followers. Kultur masyarakat saat ini tidak bisa terlepas dengan perubahan yang dibawa media massa dan public figurenya. Sayangnya public figure yang di jadikan patokan oleh masyarakat adalah artis. Tidak ada masalah dalam hal ini apabila artis pada dasarnya memberikan pengaruh positif. Dibarengi oleh sikap masyarakat yang cerdas. Tidak hanya menerima pengaruh dari media massa secara mentah mentah. Mampu memfilter input dari segala bidang, maka penting juga bagi masyarakat untuk meningkatkan pendidikan caracter. Agar tidak terus menjadi masyarakt yang konsumerisme dan followers.
Penulis disini bukan ingin menghakimi beberapa pihak, tapi layaknya kita sebagai mahasiswa mampu membuka mata dan sensitifitas untuk semua lini. Sering kali mahasiswa saat ini malah ikut terbawa arus dan merasa statusnya sebagai mahasiswa adalah hal yang pregtisius. Mahasiswa harusnya mampu lebih ilmiah dalam menyikapi fenomena sosial. Bersikap arif dan memberi manfaat bagi bangsa. Bukan malah memarjinalkan kaum alay, atau bahkan menjadikan alay sebagai predikat jelek bagi sebagian orang atau kelompok.
Alay adalah sebuah fase yang mungkin bisa terjadi pada siapapun. Tidak arif penulis kira apabila kita dengan mudahnya mejustifikasi orang tanpa kita melihat sisi lainnya. Karena, sesungguhnya menjustifikasi orang secara sepihak menunjukan kedekatan kita dengan mereka.[]

0 komentar:

Posting Komentar