Seringkali kita
terjebak dalam streotipe general tanpa kita tahu maksud dari paradigm tersebut.
Alay. Predikat yang sering melekat disebagian orang yang menurut para ‘anti
alay’ adalah orang yang norak, kampungan, dan tidak up to date. Kita pun sering
tanpa sadar mencap seseorang alay tanpa tahu batasan alay, tanpa tahu apa makna
mendasar dari alay.
Alay adalah
kepanjangan dari anak layangan. Penulis pun tidak mampu menemukan kapan dan
siapa yang mencetuskan kalimat ini. Alay yang booming ditahun 2000an semakin
kesini semakin mendeskriditkan golongan. Predikat alay sering sekali di
sematkan pada golongan menengah kebawah. Padahal, menurut penulis alay adalah
suatu fase. Alay yang sering kali saat ini malah dijadikan bahan olokan pada
dasarnya pernah dilakukan oleh setiap orang.
Seringkali Alay
diberikan ciri cirri sebagai berikut: 1. Huruf ketikan sms besar kecil dan
dipadukan dengan angka. 2. Apabila mengetik sms ada unsure hiperbola alphabet
disana. Contoh: cemunguuudh kakaks (Semangat kakak), kMu Lgy d5na? (kamu lagi
dimana?) dsb. 3. Tabrak warna seringkali juga dijadikan trend di kalangan alay.
4. Alay juga seringkali dihubungkan dengan prilaku yang hiperaktif.
Dari mana alay
berasal? Penulis mencoba flashback kebelakang. Bukan bermaksud untuk menjudge
salah satu provider. Namun, jelas masih di ingat dibenak kawan kawan pastinya.
Bahwa salah satu provider handphone pada saat itu mempopulerkan gaya sms gede
kecil dengan paduan angka dan huruf, seolah membuat trend baru di dunia remaja
sembari menawarkan salah satu produk paket smsnya. Sontak, hal itu langsung
membumi ditengah para remaja.
Kemudian, yang
paling massif dan dapat dijadikan bukti nyata adalah perkembangan jejaring
sosial di Indonesia. Masih teringat dengan eksistensi Friendster, pada masanya.
Friendster adalah trobosan jejaring sosial pertama yang langsung mencapai
rating tertinggi dalam jangka waktu beberapa tahun di Indonesia, lalu,
muncullah facebook sebagai dinamika baru. Dan friendster lambat laun di
tinggalkan. Hingga para remaja yang masih berkutat difriensdter dibilang alay,
gak gaul, dsb. Setelah Twitter hadir. Para pemakai facebook pun yang
berimigrasi ke twitter menganggap bahwa facebook menjadi wadahnya orang-orang
lain.
Kita tidak bisa
mendeskreditkan alay sebagai sebuah virus yang harus dijauhi. Sekali lagi,
karena semua orang pasti pernah alay. Dan itu wajar. Sekali lagi pula, karena
hal itu adalah sebuah proses menuju kedewasaan. Banyak faktor yang mempengaruhi
seseorang menjadi alay. Atau pernah alay. Pertama, proses pendewasaan. Alay
lekat sekali dengan para remaja. Karena, remaja pada dasarnya sedang mencari
jati diri, menunjukan eksistensinya bahwa ia ada. Maka, ia berprilaku yang
sering kali dicap alay. Contoh prilakunya dengan nama pengguna di facebook,
atau gaya sms antar sebayanya. Tidak ada yang salah dengan hal ini. Ini adalah
sebuah fase yang mungkin dan bisa saja dilalui oleh orang lain.
Kedua,faktor
lingkungan dan ekonomi sosial. Pada salah satu stasiun tv yang menayangkan
acara musik setiap pagi, bisa kita lihat bersama ada beberapa penonton yang
bergaya dengan gaya yang sama setiap harinya. Dan kelompok ini biasanya yang
disebut alay. Terlalu cepat kita menyematkan predikat alay terhadap orang.
Apabila kita bisa berfikir lebih jauh lagi, apa yang salah dengan peran itu,
dibalik itu semua, dibalik gaya dan jogetnnya ditelevisi yang sering kita
anggap alay. Mereka melakukan seperti itu karena mendapat bayaran, untuk
menyambung hidupnya. Toh,buktinya acara itu juga tetap bertahan sampai sekarang
itu membuktikan bahwa acara itu juga diminati oleh masyarakat. Sayangnya kaum
‘non-alay’ atau biasanya mereka yang berada di kelas menengah keatas tidak
melihat alay dari segi yang ini. Mereka mengaggap bahwa alay adalah salah stau
kelas yang tidak bisa melebur bersama, dan hanya dimiliki oleh kalangan
menengah kebawah.
Ketiga,faktor
media massa, seperti yang sudah penulis uraikan diatas. Bahwa media massa
sangat berpengaruh dalam pergesaran budaya apalagi ditengah kultur masyarakat
indonesia yang konsumerisme dan bermental followers. Kultur masyarakat saat ini
tidak bisa terlepas dengan perubahan yang dibawa media massa dan public
figurenya. Sayangnya public figure yang di jadikan patokan oleh masyarakat
adalah artis. Tidak ada masalah dalam hal ini apabila artis pada dasarnya
memberikan pengaruh positif. Dibarengi oleh sikap masyarakat yang cerdas. Tidak
hanya menerima pengaruh dari media massa secara mentah mentah. Mampu memfilter
input dari segala bidang, maka penting juga bagi masyarakat untuk meningkatkan
pendidikan caracter. Agar tidak terus menjadi masyarakt yang konsumerisme dan
followers.
Penulis disini
bukan ingin menghakimi beberapa pihak, tapi layaknya kita sebagai mahasiswa
mampu membuka mata dan sensitifitas untuk semua lini. Sering kali mahasiswa
saat ini malah ikut terbawa arus dan merasa statusnya sebagai mahasiswa adalah
hal yang pregtisius. Mahasiswa harusnya mampu lebih ilmiah dalam menyikapi
fenomena sosial. Bersikap arif dan memberi manfaat bagi bangsa. Bukan malah
memarjinalkan kaum alay, atau bahkan menjadikan alay sebagai predikat jelek
bagi sebagian orang atau kelompok.
Alay adalah
sebuah fase yang mungkin bisa terjadi pada siapapun. Tidak arif penulis kira
apabila kita dengan mudahnya mejustifikasi orang tanpa kita melihat sisi
lainnya. Karena, sesungguhnya menjustifikasi orang secara sepihak menunjukan
kedekatan kita dengan mereka.[]